Sebuah Renungan
”Ibu, aku tahu
aku tidak bisa membuatmu tersenyum bangga..
Aku tahu aku
hanya bisa menyusahkanmu..
Aku tahu,
mungkin jika aku hanya membuatmu lelah jika engkau berada disini..
Tapi, aku
membutuhkanmu ibu… Aku butuh kasihmu..
Aku memang tak
sempurna seperti anak-anak yang lain..
Bahkan aku tak
mampu merangkai kata indah untuk mengucapkan terimakasih dan cintaku padamu..
Tapi sungguh, di
relung hati terdalam…
Aku sangat
mencintaimu ibu.. Sangat…
Satu pintaku,
tetaplah bersamaku, disini..”
Mungkin kalimat-kalimat itu yang tersimpan dibalik kerinduannya
dengan sang ibu.
Melihat tatapan mata seorang anak laki-laki 12 tahunan itu,
terpancar kerinduan yang sangat besar kepada orang tuanya. Iqbal nama
seorang anak yang sejak kecil menyandang cacat mental. Dia tinggal bersama
kakek dan neneknya. Kedua orang tuanya bercerai saat dia masih balita. Sang ayah
pergi merantau ke Jakarta, dan ibunya mengasuhnya seorang diri di desa. Namun
kebersamaan Iqbal dan ibunya tidak bertahan lama. Mengingat kondisi ekonomi
yang minim, membuat sang ibu berencana untuk mencari pekerjaan. Saat sang ibu
bekerja, Iqbal diasuh oleh kakek dan neneknya.
Meskipun kakek dan neneknya sudah cukup tua, tetapi mereka masih dengan
sabar mengasuh Iqbal, saat ibunya sedang bekerja.
Sebut saja sang ibu bernama Bu Lilim.
Meskipun kondisi anaknya seperti itu, ibu yang luar biasa itu tidak menyerah
untuk mengobatinya dan menyekolahkannya di SLB, ketika usianya sudah menginjak
6 tahunan. Meskipun usaha Bu Lilim hanya berdagang, semangatnya untuk mengobati sakit
Iqbal begitu besar. Hingga akhirnya usaha dagangnya gulung tikar, karena setiap
pemasukkan tidak dijadikan untuk modal membeli barang dagangan, melainkan untuk
biaya hidup sehari-hari dan mengobati Iqbal. Di sekolah Iqbal memang sulit
untuk di kendalikan emosinya, dia lebih suka lari kesana-kemari dari pada duduk
di kelas. Tetapi berkat tekad ibunya untuk menyekolahkannya, perkembangannya
pun cukup bagus. Setidaknya dia bisa menyanyi dan sedikit menghafalkan
gambar-gambar yang dia lihat.
Lambat laun, ibu Iqbal semakin mencari
pekerjaan yang agak jauh, di Solo. Sempat mengajak Iqbal untuk tinggal
bersamanya, tetapi tidak bertahan lama karena tidak ada yang mengasuh Iqbal. Akhirnya
Iqbal pun dititipkan kepada kakek dan neneknya di desa. Sejak saat itu, Iqbal
jarang ketemu dengan ibunya. Sekolahnya pun terhenti karena tidak ada yang
mengantarkannya ke sekolah. Iqbal yang tidak bisa melakukan banyak hal sendiri, termasuk makan dan mandi. Sehingga
kakek dan neneknya mengasuh Iqbal laksana mengasuh bayi, meskipun usianya
semakin lama semakin bertambah.
Dilihat dari fisiknya, dia memang
bertubuh tinggi dan besar, seperti anak yang begitu sehat. Tetapi siapa sangka
dibalik semua itu, Allah memberikan suatu maksud lain berupa cacat mental. Semakin bertambah umurnya,
ia tumbuh semakin besar. Tetapi kakek dan nenek yang mengasuhnya semakin lama
semakin renta dan rapuh untuk merawatnya.
Kebiasaannya setiap pagi setelah dimandikan dan disuapi oleh neneknya,
ia langsung bermain tak tentu arah. Aku sangat sering melihatnya mendorong
sepeda kecil keliling kemanapun dia pergi, selelahnya. Mungkin sangat sering
keliling desa. Ketika dia melihat sesuatu yang menurutnya menarik, dia langsung
mengikutinya atau memperhatikannya terus menerus.
Pada suatu ketika, dia melihat seorang
kakek-kakek yang sedang menggembala kambing. Dia mengikuti kakek itu, hingga ke
lain desa. Kakek tersebut sudah menyuruh
Iqbal pulang, tetapi tidak mau. Ketika kambing-kambing tersebut sibuk memakan
rumput, Iqbal memperhatikannya dengan sangat seksama. Yah, seperti itu
kebiasaan Iqbal ketika melihat apapun yang menurutnya menarik. Entah melihat
kambing, sapi, bebek di sungai samping rumahku, maupun yang lain. Sehingga aku
cukup hafal dengan ekspresinya.
Betapa terkejut kakek dan neneknya yang
mencari-cari Iqbal keliling desa, tetapi tidak menemukannya. Mereka hanya
menemukan sepeda tanpa ‘sedel’ (tempat duduk) tergeletak di pinggir jalan. Kakek
dan neneknya baru menemukan Iqbal sore hari, ketika kakek tua bersama
kambing-kambingnya pulang, Iqbal masih setia mengamati dengan serius dari
belakang. Saat kakek Iqbal menjemputnya untuk pulang, Iqbal masih tidak mau.
Akibat kelelahan mencari Iqbal seharian, sang kakek pun geram dan mengambil
sebilah kayu dan dipukulkan pada Iqbal dan mengajaknya pulang. Tidak ada air
mata yang menetes dari matanya, meskipun
aku tahu itu sangat sakit. Akhirnya dia pun pulang.
Itu gambaran dari kisah sehari-harinya. Terkadang
dia main tanpa sepeda ke teras rumahku.
Sesekali membawa kartu-kartu gambar hewan-hewan, dan dutunjukkanlah padaku dan
ibuku. Kartu-kartu gambar yang sudah kumal, mungkin ini kartu yang dulu ibunya
belikan saat dia masih sekolah betapa terkejut saat dia menunjukkan satu
persatu gambar, dia bisa mengetahui nama-nama hewan pada gambar tersebut. Ketika gambar itu mulai berantakan, dia
menyuruh ibuku untuk menatanya dengan rapi dengan isyarat dan omongan yang
tidak terlalu jelas, karena memang dia tidak begitu bisa berbicara.
Terkadang dia ke teras rumahku tanpa
membawa apapun. Saat itu aku sedikit tahu, bahwa sesungguhnya dia membutuhkan
perhatian. Terkadang dia menirukan adzan ketika telunjuknya mengarah pada
mushola yang letaknya tepat di samping rumahku, kemudian dilanjutkan dengan
sholawat. Ya memang bahasanya nggak karuan dan sangat tidak jelas, tetapi aku
masih bisa menangkapnya. Sesekali dia menyanyi lagu ‘bintang kecil’ dan beberapa lagu
anak-anak lainnya dengan lirik yang tidak jelas, tetapi nadanya cukup
menerangkan lagu apa yang dia nyanyikan. Setelah selesai menyanyi, dia ketawa
keras sendiri, terkadang bertepuk tangan
sendiri. Saat aku, adek atau ibuku memintanya menyanyi lagu dolanan seperti ‘menthok-menthok’ ataupun ‘bebek adus kali’, dia pun bisa
menyanyikannya.
Semua lagu-lagu yang dia bisa itu adalah
hafalan ketika dia sekolah di SLB dahulu yang tidak sampai 1 tahun. Sedangkan hafalan
adzan dan sholawatnya, karena kadang-kadang kakeknya mengajaknya ke mushola.
‘‘Andaikan orang tuanya lebih peduli
padanya, pasti dia bisa sembuh’’ pikirku. Untuk anak seperti dia, ingatannya
cukup kuat. Mungkin tidak akan seperti ini jadinya bila ia disekolahkan. Sayangnya
tidak banyak yang memperhatikannya. Kakek dan neneknya pun kurang
menyadari pendidikan itu penting untuknya.
Sementara ibunya sudah jarang menjenguknya, apalagi sang ayah.
Kini usianya sudah 12 tahun, tubuh yang
semakin besar, semakin mudah memberontak dengan kakek dan neneknya. Sehingga kakek
dan neneknya selalu sedia sebilah kayu untuk memukulnya ketika dia bandel untuk
diajak pulang ke rumah. Banyak orang yang memandang dia layaknya ‘monster’. Dia
hanya sering berada di rumah ketika sang ibu menjenguk atau saat sakit
kejang-kejangnya kambuh. Lantas bagaimana nasibnya bila kakek dan neneknya
semakin tua dan tidak kuasa mengasuhnya kembali? Sangat sedih apabila membayangkan
semua itu. Dia butuh kasih sayang orang tuanya, aku rasa kuncinya adalah
itu. Dibalik diamnya, aku yakin dia
menangis. Dibalik ketegarannya, aku yakin dia begitu ingin berjumpa dengan
orang tuanya. Dibalik kesendiriannya, aku yakin dia ingin ayah dan ibunya
berada disisinya.
Pandangan
terhadap Penyandang Disabilitas
Kisah
diatas merupakan satu dari banyaknya kisah memprihatinkan terkait penyandang
disabilitas. Penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata oleh kalangan
masyarakat, bahkan tidak jarang yang menganggap penderita disabilitas sebagai
aib keluarga. Menurut catatan Kementrian Sosial RI, pada tahun
2011 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 7 juta
orang atau sekitar 3% dari total penduduk di Indonesia yang berjumlah di 238
juta. Jumlah yang tidak sedikit untuk diabaikan.
Meskipun payung hukum terkait persamaan hak
pendidikan untuk penyandang disabilitas sudah sangat jelas, pada Undang-Undang
nomer 19 tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities (konvensi mengenai hak-hak penyandang
disabilitas) Pasal 24 ayat 5. Pada pasal
tersebut dinyatakan bahwa, negara-negara
pihak harus menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan
umum menengah, pelatihan kejuruan, pendidikan dewasa, dan pembelajaran seumur
hidup tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya. Namun
pada kenyataannya,hak-hak yang seharusnya diperoleh para
penyandang disabilitas masih minim.
Cerita
di atas merupakan salah satu kisah yang membuka mataku, bahwa betapa berartinya
para penyandang disabilitas. Betapa perlunya pendidikan bagi mereka, betapa
luar biasa potensi mereka sesungguhnya apabila diasah dengan sungguh-sungguh. Awalnya aku tidak begitu peduli terhadap
penderita disabilitas seperti itu, tetapi karena kisah Iqbal, aku menjadi
peduli terhadap penyadang disabilitas. Pernah
suatu ketika aku ikut suatu acara bakti sosial yang diadakan organisasi
kesebuah SLB. Sangat bahagia, disana melihat orang-orang luar biasa dengan
keterbatasannya, masih semangat belajar. Sangat bahagia, bisa memeluk adik-adik
yang memiliki mimpi luar biasa itu.
Melihat mereka semua, membuatku
kembali berkaca, betapa salahnya aku bila terkadang tidak memaksimalkan
kesempurnaan yang telah Allah berikan. Betapa salahnya aku, jika terkadang aku
mengeluhi kekuranganku. Allah memberikan
potensi yang luar biasa bagi setiap ciptaannya, baik dengan kekurangan maupun
kelebihan, segala sesuatu memiliki hikmah.
‘ Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?’
Maka
dari itu, mari kita buka mata kita, mensyukuri segala yang telah Allah berikan.
Betapa Allah menyayangi kita, Allah
telah memberikan apa-apa yang bahkan tidak kita minta, tapi telah Allah
sediakan.
Bagi penyandang disabilitas,
bersabarlah karena Allah pasti akan mengganti kesabaran kalian dengan
keindahan, kekurangan kaliang dengan kesempurnaan. Mungkin belum di dunia,
tetapi di kehidupan yang lebih kekal nanti. Allah pasti akan mengabulkan
pintamu, asalkan tidak kalian pelihara
putus asa di dunia, asalkan kalian menerima segalanya dengan lapang
dada, dan melakukan yang terbaik yang kalian bisa.
Bagi orang-orang yang memiliki kerabat, keluarga, teman,
sahabat maupun yang lainnya, berbahagialah kalian memiliki orang-orang yang
sesungguhnya memiliki potensi hebat. Disabilitas bukanlah kutukan, melainkan suatu anugrah yang
cahayanya tersembunyi. Maka dari itu tegakkan langkahnya, dukung setiap tindakan
baiknya, jadikan ia istimewa. Maka dia akan menjadi orang yang luar biasa di
balik kekurangannya.
“Ketika
kita melakukan yang terbaik, kita tidak tahu keajaiban apa yang akan terjadi
pada diri kita maupun orang lain.”