Senin, 24 Desember 2012

HIKMAH DIBALIK KEKURANGAN: DISABILITAS BUKAN KUTUKAN



Sebuah Renungan
”Ibu, aku tahu aku tidak bisa membuatmu tersenyum bangga..
Aku tahu aku hanya bisa menyusahkanmu..
Aku tahu, mungkin jika aku hanya membuatmu lelah jika engkau berada disini..
Tapi, aku membutuhkanmu ibu… Aku butuh kasihmu..
Aku memang tak sempurna seperti  anak-anak yang lain..
Bahkan aku tak mampu merangkai kata indah untuk mengucapkan terimakasih dan cintaku padamu..
Tapi sungguh, di relung hati terdalam…
Aku sangat mencintaimu ibu.. Sangat…
Satu pintaku, tetaplah bersamaku, disini..”
Mungkin kalimat-kalimat itu yang tersimpan dibalik kerinduannya dengan sang ibu.
Melihat tatapan  mata seorang anak laki-laki 12 tahunan itu, terpancar kerinduan yang sangat besar kepada orang tuanya. Iqbal nama seorang anak yang sejak kecil menyandang cacat mental. Dia tinggal bersama kakek dan neneknya. Kedua orang tuanya bercerai saat dia masih balita. Sang ayah pergi merantau ke Jakarta, dan ibunya mengasuhnya seorang diri di desa. Namun kebersamaan Iqbal dan ibunya tidak bertahan lama. Mengingat kondisi ekonomi yang minim, membuat sang ibu berencana untuk mencari pekerjaan. Saat sang ibu bekerja, Iqbal diasuh oleh kakek dan neneknya.  Meskipun kakek dan neneknya sudah cukup tua, tetapi mereka masih dengan sabar mengasuh Iqbal, saat ibunya sedang bekerja.
Sebut saja sang ibu bernama Bu Lilim. Meskipun kondisi anaknya seperti itu, ibu yang luar biasa itu tidak menyerah untuk mengobatinya dan menyekolahkannya di SLB, ketika usianya sudah menginjak 6 tahunan. Meskipun usaha Bu Lilim hanya berdagang, semangatnya untuk mengobati sakit Iqbal begitu besar. Hingga akhirnya usaha dagangnya gulung tikar, karena setiap pemasukkan tidak dijadikan untuk modal membeli barang dagangan, melainkan untuk biaya hidup sehari-hari dan mengobati Iqbal. Di sekolah Iqbal memang sulit untuk di kendalikan emosinya, dia lebih suka lari kesana-kemari dari pada duduk di kelas. Tetapi berkat tekad ibunya untuk menyekolahkannya, perkembangannya pun cukup bagus. Setidaknya dia bisa menyanyi dan sedikit menghafalkan gambar-gambar yang dia lihat.
Lambat laun, ibu Iqbal semakin mencari pekerjaan yang agak jauh, di Solo. Sempat mengajak Iqbal untuk tinggal bersamanya, tetapi tidak bertahan lama karena tidak ada yang mengasuh Iqbal. Akhirnya Iqbal pun dititipkan kepada kakek dan neneknya di desa. Sejak saat itu, Iqbal jarang ketemu dengan ibunya. Sekolahnya pun terhenti karena tidak ada yang mengantarkannya ke sekolah. Iqbal yang tidak bisa melakukan banyak hal sendiri, termasuk makan dan mandi. Sehingga kakek dan neneknya mengasuh Iqbal laksana mengasuh bayi, meskipun usianya semakin lama semakin bertambah.
Dilihat dari fisiknya, dia memang bertubuh tinggi dan besar, seperti anak yang begitu sehat. Tetapi siapa sangka dibalik semua itu, Allah memberikan suatu maksud lain berupa cacat mental. Semakin bertambah umurnya, ia tumbuh semakin besar. Tetapi kakek dan nenek yang mengasuhnya semakin lama semakin renta dan rapuh untuk merawatnya.  Kebiasaannya setiap pagi setelah dimandikan dan disuapi oleh neneknya, ia langsung bermain tak tentu arah. Aku sangat sering melihatnya mendorong sepeda kecil keliling kemanapun dia pergi, selelahnya. Mungkin sangat sering keliling desa. Ketika dia melihat sesuatu yang menurutnya menarik, dia langsung mengikutinya atau memperhatikannya terus menerus.
Pada suatu ketika, dia melihat seorang kakek-kakek yang sedang menggembala kambing. Dia mengikuti kakek itu, hingga ke lain desa.  Kakek tersebut sudah menyuruh Iqbal pulang, tetapi tidak mau. Ketika kambing-kambing tersebut sibuk memakan rumput, Iqbal memperhatikannya dengan sangat seksama. Yah, seperti itu kebiasaan Iqbal ketika melihat apapun yang menurutnya menarik. Entah melihat kambing, sapi, bebek di sungai samping rumahku, maupun yang lain. Sehingga aku cukup hafal dengan ekspresinya.
Betapa terkejut kakek dan neneknya yang mencari-cari Iqbal keliling desa, tetapi tidak menemukannya. Mereka hanya menemukan sepeda tanpa ‘sedel’ (tempat duduk) tergeletak di pinggir jalan. Kakek dan neneknya baru menemukan Iqbal sore hari, ketika kakek tua bersama kambing-kambingnya pulang, Iqbal masih setia mengamati dengan serius dari belakang. Saat kakek Iqbal menjemputnya untuk pulang, Iqbal masih tidak mau. Akibat kelelahan mencari Iqbal seharian, sang kakek pun geram dan mengambil sebilah kayu dan dipukulkan pada Iqbal dan mengajaknya pulang. Tidak ada air mata yang  menetes dari matanya, meskipun aku tahu itu sangat sakit. Akhirnya dia pun pulang.
Itu gambaran dari kisah sehari-harinya. Terkadang dia main tanpa sepeda ke teras  rumahku. Sesekali membawa kartu-kartu gambar hewan-hewan, dan dutunjukkanlah padaku dan ibuku. Kartu-kartu gambar yang sudah kumal, mungkin ini kartu yang dulu ibunya belikan saat dia masih sekolah betapa terkejut saat dia menunjukkan satu persatu gambar, dia bisa mengetahui nama-nama hewan pada gambar tersebut.  Ketika gambar itu mulai berantakan, dia menyuruh ibuku untuk menatanya dengan rapi dengan isyarat dan omongan yang tidak terlalu jelas, karena memang dia tidak begitu bisa berbicara.
Terkadang dia ke teras rumahku tanpa membawa apapun. Saat itu aku sedikit tahu, bahwa sesungguhnya dia membutuhkan perhatian. Terkadang dia menirukan adzan ketika telunjuknya mengarah pada mushola yang letaknya tepat di samping rumahku, kemudian dilanjutkan dengan sholawat. Ya memang bahasanya nggak karuan dan sangat tidak jelas, tetapi aku masih bisa menangkapnya. Sesekali dia menyanyi  lagu ‘bintang kecil’ dan beberapa lagu anak-anak lainnya dengan lirik yang tidak jelas, tetapi nadanya cukup menerangkan lagu apa yang dia nyanyikan. Setelah selesai menyanyi, dia ketawa keras sendiri, terkadang bertepuk  tangan sendiri. Saat aku, adek atau ibuku memintanya menyanyi lagu dolanan seperti ‘menthok-menthok’ ataupun ‘bebek adus kali’, dia pun bisa menyanyikannya.
Semua lagu-lagu yang dia bisa itu adalah hafalan ketika dia sekolah di SLB dahulu yang tidak sampai 1 tahun. Sedangkan hafalan adzan dan sholawatnya, karena kadang-kadang kakeknya mengajaknya ke mushola.
‘‘Andaikan orang tuanya lebih peduli padanya, pasti dia bisa sembuh’’ pikirku. Untuk anak seperti dia, ingatannya cukup kuat. Mungkin tidak akan seperti ini jadinya bila ia disekolahkan. Sayangnya tidak banyak yang memperhatikannya. Kakek dan neneknya pun kurang menyadari  pendidikan itu penting untuknya. Sementara ibunya sudah jarang menjenguknya, apalagi sang ayah.
Kini usianya sudah 12 tahun, tubuh yang semakin besar, semakin mudah memberontak dengan kakek dan neneknya. Sehingga kakek dan neneknya selalu sedia sebilah kayu untuk memukulnya ketika dia bandel untuk diajak pulang ke rumah. Banyak orang yang memandang dia layaknya ‘monster’. Dia hanya sering berada di rumah ketika sang ibu menjenguk atau saat sakit kejang-kejangnya kambuh. Lantas bagaimana nasibnya bila kakek dan neneknya semakin tua dan tidak kuasa mengasuhnya kembali? Sangat sedih apabila membayangkan semua itu. Dia butuh kasih sayang orang tuanya, aku rasa kuncinya adalah itu.  Dibalik diamnya, aku yakin dia menangis. Dibalik ketegarannya, aku yakin dia begitu ingin berjumpa dengan orang tuanya. Dibalik kesendiriannya, aku yakin dia ingin ayah dan ibunya berada disisinya.
Pandangan terhadap Penyandang Disabilitas
            Kisah diatas merupakan satu dari banyaknya kisah memprihatinkan terkait penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata oleh kalangan masyarakat, bahkan tidak jarang yang menganggap penderita disabilitas sebagai aib keluarga. Menurut catatan Kementrian Sosial RI, pada tahun 2011  jumlah penyandang  disabilitas di Indonesia mencapai 7 juta orang atau sekitar 3% dari total penduduk di Indonesia yang berjumlah di 238 juta. Jumlah yang tidak sedikit untuk diabaikan. 
   Meskipun payung hukum terkait persamaan hak pendidikan untuk penyandang disabilitas sudah sangat jelas, pada Undang-Undang  nomer  19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas) Pasal 24  ayat 5. Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa,  negara-negara pihak harus menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan umum menengah, pelatihan kejuruan, pendidikan dewasa, dan pembelajaran seumur hidup tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya. Namun pada kenyataannya,hak-hak yang seharusnya diperoleh   para penyandang disabilitas masih minim.
Cerita di atas merupakan salah satu kisah yang membuka mataku, bahwa betapa berartinya para penyandang disabilitas. Betapa perlunya pendidikan bagi mereka, betapa luar biasa potensi mereka sesungguhnya apabila diasah dengan sungguh-sungguh.  Awalnya aku tidak begitu peduli terhadap penderita disabilitas seperti itu, tetapi karena kisah Iqbal, aku menjadi peduli terhadap penyadang disabilitas.  Pernah suatu ketika aku ikut suatu acara bakti sosial yang diadakan organisasi kesebuah SLB. Sangat bahagia, disana melihat orang-orang luar biasa dengan keterbatasannya, masih semangat belajar. Sangat bahagia, bisa memeluk adik-adik yang memiliki mimpi luar biasa itu.
            Melihat mereka semua, membuatku kembali berkaca, betapa salahnya aku bila terkadang tidak memaksimalkan kesempurnaan yang telah Allah berikan. Betapa salahnya aku, jika terkadang aku mengeluhi kekuranganku.  Allah memberikan potensi yang luar biasa bagi setiap ciptaannya, baik dengan kekurangan maupun kelebihan, segala sesuatu memiliki hikmah.
‘             Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?’
            Maka dari itu, mari kita buka mata kita, mensyukuri segala yang telah Allah berikan. Betapa Allah menyayangi kita,  Allah telah memberikan apa-apa yang bahkan tidak kita minta, tapi telah Allah sediakan.
            Bagi penyandang disabilitas, bersabarlah karena Allah pasti akan mengganti kesabaran kalian dengan keindahan, kekurangan kaliang dengan kesempurnaan. Mungkin belum di dunia, tetapi di kehidupan yang lebih kekal nanti. Allah pasti akan mengabulkan pintamu, asalkan tidak kalian pelihara  putus asa di dunia, asalkan kalian menerima segalanya dengan lapang dada, dan melakukan yang terbaik yang kalian bisa.
            Bagi orang-orang  yang memiliki kerabat, keluarga, teman, sahabat maupun yang lainnya, berbahagialah kalian memiliki orang-orang yang sesungguhnya memiliki potensi hebat. Disabilitas bukanlah  kutukan, melainkan suatu anugrah yang cahayanya tersembunyi. Maka dari itu tegakkan langkahnya, dukung setiap tindakan baiknya, jadikan ia istimewa. Maka dia akan menjadi orang yang luar biasa di balik kekurangannya.
            “Ketika kita melakukan yang terbaik, kita tidak tahu keajaiban apa yang akan terjadi pada diri kita maupun orang lain.”   

9 komentar:

  1. Subhanallah. .
    tulisan yang sangat menginspirasi untuk selalu bersyukur dan mengingtkan saya untuk dpt memaksimalkan potensi diri yang Allah beri kepada saya hingga hari ini.

    Dahsyat. . .Luar Biasa . . .


    BalasHapus
  2. Luar biasa dek inayah tulisannya.terharu saya.sdh dapat kuliah inklusi to??terus dikembangkan karyanya :-)
    masde

    BalasHapus
  3. Anonim: Terimakasih. Semoga kita semua senantiasa menjadi orang yang selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan..

    BalasHapus
  4. Mas Dewanto: Terimakasih kakakku.. hehe.. belum dapet makul inklusi kok..

    BalasHapus
  5. bunga akan tetap indah.. ia mekar merekah cantik begitu indah menggoda stiap mata yang memandang.. namun jika rupanya tak seindah itu, harumnya masih semerbak menebarkan aroma lembut menelisisk syaraf penciuman.. dan bahkan jika ia tak memilki keduanya mungkin kandungan dalam batang yang menopang, pada kelopak dan mahkota yang menghias dapat memberikan manfaat untuk alam ini ..
    begitulah ang pencipta begitu adil memberi dalam porsi yang begitu indah..
    ditunggu tulian inspiratif selanjutnya..

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. di balik kekukarangan pasti ada hikmahnya :)

    BalasHapus
  8. subhanalloh,artikelnya inspiratif sekali,,jadi terharu bacanya
    alloh itu maha adil di balik kekurangan pasti ada hikmah yang lebih baik yang di rencana alloh

    BalasHapus