Senin, 03 September 2012

Punishment dapat Memicu Kognitif Shutdown pada Anak



(Terinspirasi pengalaman mengajar privat siswa TK)


Teringat  penjelasan mas jefri, salah satu pengelola SABS, mengenai kognitif shutdown. Jujur baru kali itu saya mendengar istilah ‘kognitif shutdown’. Saya tertarik untuk membuat postingan tentang bahasan tersebut, yang ingin saya awali dengan cerita pengalaman saya mengajar  privat anak TK.
“Menjadi guru privat merupakan salah satu keinginan saya sejak dulu, akhirnya dapat terealisasi bulan Maret 2012 dengan 2 murid pertama siwi SD Kelas 6 daan SMK kelas 10. Namun, tak terlintas dipikiran saya jika suatu saat saya harus mengajar anak TK.  Kesan pertama saat saya mendapatkan job  untuk mengajar privat anak seusia itu adalah agak ragu, apakah saya bisa menyampaikan materi dan belajar bersama anak tersebut dengan baik? Karena kita tahu anak seusia itu masih sangat aktif dan lebih suka bermain. Sedangkan orang tua menyuruh anaknya privat pada usia segitu, pastilah menginginkan anaknya memiliki kemampuan akademis yang lebih bagus. Keraguan tersebut saya coba tepiskan dari benak saya, supaya saya tidak  bisa memaksimalkan tugas saya. Sebut saja namanya Dik Dimas, siswa sebuah TK IT itu. Anak  kecil yang lucu dan menggemaskan merupakan kesan pertama yang saya tangkap pada hari pertama saya mengajarnya.
Saat saya memasuki ruang belajarnya, setumpuk mainan terjejer rapi dimeja. Ketika maminya menanyakan kenapa mainan-mainan tersebut dijejerkan dimeja, dengan lugunya dia menjawab, “Kan biar bagus mi, biar mbaknya senang”. Waw, batin saya, anak sekecil ini sudah berniat membuat saya senang meskipun saya masih berada diambang pintu, dan dia belum mengenal saya.  Karena saking banyaknya mainan, akhirnya maminya yang membereskannya dari meja belajar Dik Dimas. Bu  Tirta, maminya dik Dimas, mengemukakan beberapa kesulitan belajar Dik Dimas kepada saya, beberapa hal yang saya tangkap antara lain kesulitan menghafal abjad dan membaca. Dari permasalahan tersebut, saya mencoba mengajak dik Dimas untuk mempelajari abjad dan belajar membaca di hari privat pertama tersebut. Tentu tidak lupa diselingi dengan bercanda, menghafal abjad dengan bernyanyi, supaya belajar tidak monoton dan membosankan. Di hari pertama tersebut, dia cukup antusias belajar.
Namun berbeda dengan pertemuan privat kedua. Ketika saya sampai di rumahnya, sore itu pukul 16.00, Dik Dimas Masih tertidur pulas. Sang ibu sudah mencoba membangunkannya, tetapi Dik Dimas masih malas bangun. Akhirnya baru jam 16.30 dik Dimas mau bangun, dan seketika itu pula privat dimulai. Bisa saya bayangkan, anak sekecil itu baru bangun tidur sudah disuruh belajar oleh orang tuanya, pasti rasanya begitu suntuk dan sulit sekali menerima materi yang disampaikan. Jangankan anak kecil, siswa-siswa yang mungkin sudah berada pada sekolah menengah pun kebanyakan tidak mau langsung belajar usai bangun tidur siang, karena malas dan kantuk yang masih tersisa. Begitu pula dengan Dik Dimas, saya benar-benar mengerti dia sangat malas untuk belajar, sehingga saya juga tidak memaksanya untuk belajar secara maksimal, melainkan banyak ngobrol tentang sekolahnya, bercanda, supaya paling tidak dia tidak tertidur lagi ketika privat berjalan dan masih menangkap materi yang dipelajari saat itu
Tidak beda dengan pertemuan kedua, saat  pertemuan ketiga pun sama, saya sampai di rumah Dik Dimas, tetapi dia masih tertidur. Dan alamat jalan cerita privat pertemuan ini sama seperti pertemuan kedua. Belajar kembali dimulai pukul 16.30. Saat usai berdoa mengawali belajar, dia langsung mengatakan bosan belajar berkutat dengan huruf-huruf abjad itu. Kemudian saya menawarkan opsi kepada Dik Dimas untuk belajar huruf hijaiyah, dan diapun sepakat. Saya baru menuliskan4 huruf hijaiyah dan melafalkannya sebagai pengenalan, dia sudah lancar mengucapkan dan melanjutkannya, tetapi dengan cara yang berbeda. “Alif, ba’, ta’, tsa’, jim, ha’ Allah Tuhan kita semua… Kha’, dal, dzal, ra’, zal, sin, syin, masuk surga ayo bilang amin…”. Meskipun pengucapannya dalam bernyanyi masih belibet, saya memujinya.. “Wah dik Dimas sudah pintar, masih hafal lanjutannya?” tanya saya. Namun dia hanya melukiskan senyum manis di wajahnya.  Setelah saya telusuri, ternyata yang dia ucapkan hanya sebatas bentuk hafalan lagu, sedangkan untuk penulisannya dia belum mengerti kecuali 3 huruf pertama, itu pun terkadang masih terbalik antara ba’ dan ta’. Akhirnya berulang-ulang kami belajar 4 huruf pertama hijaiyah serta menuliskannya, supaya dia lebih mengingatnya. Namun sesaat kemudian, sang ibu masuk dan meminta untuk fokus ke abjad saja, karena huruf hijaiyah diajarkan di TPA, meskipun dik Dimas males kalau disuruh berangkat TPA. Dengan amat terpaksa, menyudahi belajar huruf hijaiyah dan beralih ke huruf abjad lagi. Ekspresi bad mood langsung saya tangkap dari wajah Dik Dimas. Tetapi setelah bercanda sebentar akhirnya dia tersenyum lagi. Oh ya, saya punya 2 buku pengenalan huruf abjad sederhana yang saya beli ketika jalan-jalan beberapa hari yang lalu, memang saya niatkan untuk saya berikan pada Dik Dimas. Begitu saya memberikannya, dia begitu senang dan antusias mempelajarinya. Namun ternyata tidak bertahan lama. Seakan-akan huruf-huruf abjad itu begitu membosankan untuknya. Ditambah lagi di halaman depan rumah ada teman-temannya yang sedang bermain. Rasanya dia pengen segera meluncur ke halaman depan untuk bergabung bersama teman-temannya bermain bola. Saat ibu dik Dimas masuk ke ruang belajar, Dik Dimas langsung merengek untuk menyudai privat pada hari itu, namun karena privat baru berjalan 30 menit, padahal kuota waktu 1,5 jam, sang ibu tidak mengizinkan untuk menyudahi privat di hari itu. Rengekan Dik Dimas yang terus menerus rupanya membuat sang ibu jengkel kemudian marah hingga Dik Dimas menangis. Setelah beberapa saat ibunya keluar dan dik dimas masih sedikit menangis saya mencoba bicara perlahan padanya.
“Dik Dimas, sudah ya nangisnya… Tahu nggak kenapa mami Dik Dimas marah karena Dik Dimas males belajar? Karena mami pengen Dik Dimas pintar, supaya kelak cita-cita Dik Dimas tercapai. Mami sayang banget lho sama kamu.. Kamu sayang enggak sama mamimu?”
Saya sedikit tersentak ketika dia menggelengkan kepala. Kemudian saya tanya apa sebabnya, dengan polosnya dia menjawab, “Lha mami sering marah-marah kok..”
            Sekali lagi saya memberikan pengertian secara perlahan kepada dia bahwa kemarahan tersebut adalah bentuk kasih sayang ibu terhadap anaknya. Namun belum selesai perkataan saya, sang ibu sudah masuk kembali. Dik Dimas yang kaget langsung mendekati saya dan meraih buku pengenalan abjad di depan saya. Namun selang beberapa menit Dik Dimas nangis kembali, dan membuat emosi sang ibu memuncak.
            “Dimas, mami nggak suka kamu males belajar seperti itu. Kamu tidur mami tungguin, baru belajar sebentar minta makan sudah mami buatin, baru belajar sebentar kamu minta main. Terus kapan belajarnya? Kalau kamu gini terus kapan kamu pintarnya. Umur kamu itu sudah 6 tahun lho Dimas, liat teman-teman yang seumuran sama kamu, mereka semua sudah SD. Lha kamu,  disuruh sekolah saja kadang males, belajar saja ogah2an. Kurang sabar apa sih mbak Ina ngajarin kamu? Apa Mbak Ina pernah marah, mernah mukulin kamu? Enggak kan. Coba kalau sama mami, kamu sambil tak cubitin, tak marahin kan.”
            Saya tercengang melihat Dik Dimas dimarahi oleh ibunya. Tidak banyak yang bisa saya lakukan saat itu, karena jujur saya merasa perkewuh  meskipun saya kasihan juga pada Dik Dimas yang sesekali dicubit oleh ibunya.
            “Coba lihat kakak kamu itu, Kak Dito privat hamper setiap hari, dia rajin belajar, di sekolah dia dapat ranking terus. Lha kamu? Di suruh ke TPA males, privat males. Mami itu pusing kalau mikirin kamu. Ya udah, gini aja mulai besok kamu nggak usah main keluar sama teman-temanmu, kalau kamu jadi males belajar. Biar aja jadi anak bodoh yang terkurung di rumah, dari pada bikin malu. Teman-teman udah pada bisa membaca, cuma kamu yang belum…”
            Tangis Dik Dimas pun semakin keras. Yah, kira-kira seperti itu perkataan sang ibu ketika marah, mungkin tidak sama persis dan sependek itu, tapi kata-kata itu yang masih terngiang di benak saya. ‘Jleb banget’, istilah alay yang menggambarkan betapa menyakitkannya kata-kata dari seorang ibu terhadap sang anaknya tersebut. Privat hari itu pun segera berakhir. Benar-benar tak disangka saya  mendapatkan pengalaman seperti itu di hari tersebut.
            Sekalian saya ceritakan pertemuan privat  keempat. Kali ini saya mendapati Dik Dimas sedang bermain bola di halaman rumah, ibu dan kakaknya sedang pergi. Dia di rumah bersama pembantunya. Ketika saya panggil beberapa kali dia masih terlihat focus pada mainannya, tetapi ketika dia mendekat dan saya berikan sedikit nasehat, akhirnya dia mau disuruh mandi dan siap-siap belajar.
            Kali ini saya berniat tidak mempelajari abjad dan membaca, tetapi hari ini kami akan belajar berhitung. Dik Dimas begitu antusias belajar kali ini. Di mulai dari dia menyebutkan angka-angka yang dia ketahui, dia bisa menyebutkannya hingga puluhan, 50an keatas pun bisa. Kemudian menuliskan angka-angka tersebut, lumayan, meskipun agak kesulitan jika menulis angka puluhan. Kemudian belajar menghitung. Penambahan, untuk penambahan yang sederhana, dia lumayan cepat. Bermodal 10 jari tangan dan 10 jari kaki, dia sangat sigap menjawab pertanyaan yang saya berikan. Semakin lama level kesulitan soal saya tingkatkan, hingga dia meminjam 10 jari tangan saya untuk menghitungnya. Dan dia bisa. Setelah itu saya mengajarinya metode menghitung dengan menuliskan garis-garis tegak sebagai wujud representasi dari jari. Dia begitu mudah menangkap metode yang saya maksudkan. Tidak hanya menghitung, tapi saya mencoba menyuruhnya untuk latihan menuliskan hasilnya, awalnya memang sulit tapi lama kelamaan dia bisa. Setelah lancar penambahan, kami belajar pengurangan, awalnya dia tidak mau, tapi setelah dia memahami jika pengurangan hanya tinggal menghapus garis-garis tegak yang sudah dia tuliskan, sebanyak bilangan yang dikurangkan, dia pun mau mencoba dan bisa. Luar biasa menurut saya, anak sekecil itu sudah begitu cekatan menghitung hingga puluhan dan mencoba menuliskan hasilnya. Dari sana saya bisa mengambil kesimpulan bahwa Dik Dimas lebih menyukai pelajaran numerik. Tidak terasa privat hari itu berjalan mulus dan menyenangkan. Yang membuat saya sangat senang  adalah tidak sedikit pun keluh untuk berhenti belajar terucap dari Dik Dimas.
            Menjelang pulang, saya bercanda berpamitan dengan Dik Dimas, kalau minggu depan saya sudah tidak bisa mengajarnya lagi. Dik Dimas merengek tidak mau. Tetapi apa boleh buat, ibu saya tidak mengizinkan saya terus menerus di Solo saat libur semester 2, bulan Ramadhan kemarin. Saya mencoba berbicara perlahan dengan ibunya Dik Dito, beliau memahami. Saya mencoba mengatakan kepada beliau bahwa minat dan bakat Dik Dimas sepertinya ada pada bidang numerik. Meskipun kemampuan verbalnya agak kurang tetapi kemampuan numeriknya bagus.
            Beliau meminta untuk dicarikan tentor privat baru untuk Dik Dimas. Keinginan tersebut langsung saya utarakan kepada Mbak Ike, selaku Ketua Cabang LBB wilayah Palur, dan beliau menyanggupi untuk mencarikan tentor penggantinya. Namun siapa sangka, ternyata hingga bulan Ramadhan selesai, Dik Dimas sudah ganti tentor privat sebanyak 3 kali, dan tidak ada yang cocok, akhirnya maminya memutuskan untuk mengajari belajar Dik Dimas sendiri. Yang dik Dimas inginkan hanya saya yang menjadi tentornya, tetapi apa boleh buat jika saya tidak diizinkan mengajar hingga akhir Agustus.”
Bagi saya pengalaman mengajar tersebut sangat berkesan dan memberikan pengetahuan kepada saya terkait banyak hal. Mungkin ceritanya agak kepanjangan, padahal inti dari postingan ini belum saya sampaikan. Hehe

(posting belum selesai) kapan-kapan saya lanjutkan

Minggu, 02 September 2012

LOMBA ESAI NASIONAL 2012 MP3 FIP UM


lomba esai mp3 fip um
Presented BY MP3 (Mahasiswa Peneliti dan Penulis Produktif) SUB DIVISI PENALARAN BEM FIP UNIVERSITAS NEGERI MALANG

Penerimaan Karya esai: 1 - 13 Oktober 2012 

PESERTA : 
Peserta merupakan Siswa SMA/MA sederajat dan Mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia 

TEMA : 
" PEMUDA SEBAGAI DRIVER FUTURITAS BANGSA " 

WAKTU DAN TEMPAT PENGUMUMAN PEMENANG : 
3 orang pemenang akan diumumkan pada tanggal 29 Oktober 2012 melalui website MP3 www.mp3fip.um.ac.id dan akan dihubungi langsung oleh Panitia Lomba.


PENGHARGAAN DAN HADIAH : 
Hanya akan diambil 3 orang pemenang dengan hadiah sebagai berikut : 
  • Juara 1 akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp 1000.000 dan sertifikat
  • Juara 2 akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp. 750.000 dan sertifikat
  • Juara 3 akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp. 500.000 dan setifikat


KETENTUAN LOMBA : 
  1. Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan/saduran
  2. Esai tidak mengandung SARA dan Pornografi
  3. Maksimal mengirimkan 2 naskah
  4. Naskah sesuai dengan format berikut :

a. Format penulisan sesuai EYD 
b. Menggunakan font Times New Roman 12 pt, spasi 1,5 

c. Margin kiri 4 cm, atas 3 cm, kanan 3 cm, dan bawah 3 cm 
d. Maksimal 3 lembar ukuran kertas A4 
     5. Pendaftaran dibuka tanggal 24 September 2012 s/d 13 Oktober 2012
     6. Setiap peserta wajib mengisi formulir pendaftaran yang dapat didownload di website MP3 www.mp3fip.um.ac.id 
     7. Setiap peserta wajib melampirkan Soft copy Kartu Pelajar/KTM; Soft copy KTP; Soft copy Esai; Soft copy bukti pembayaran ; soft copy form pendaftaran
    8. Biaya Pendaftaran : 
a. Pelajar SMA/Sederajat : Rp 20.000/naskah

b. Mahasiswa : Rp 25.000/naskah 
    9. Pembayaran dilakukan melalui Rekening BRI a.n. Aminatun Nasiyah no. Rek 1661-01-000210-50-1 


PENGIRIMAN : 
Esai dikirim Soft copy atau Hard copy : 
a. Soft copy : melalui email dalam format .RAR ke mp3fipum@gmail.comdengan format pengiriman email : Nama Lengkap_Universitas/Sekolah_No.HP

b. Hard copy : ke Sekretariat MP3 Gedung D1 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang 


CP : 
Afi_ 087850562458 
Sisy_085646456820 


info lengkap bisa sobat baca di web penyelenggara : www.mp3fip.um.ac.id


sumber : http://www.info-lomba.com/2012/09/lomba-esai-nasional-2012-mp3-fip-um.html