(Terinspirasi pengalaman mengajar privat siswa TK)
Teringat penjelasan mas jefri, salah satu pengelola
SABS, mengenai kognitif shutdown. Jujur
baru kali itu saya mendengar istilah ‘kognitif shutdown’. Saya tertarik untuk membuat postingan tentang bahasan
tersebut, yang ingin saya awali dengan cerita pengalaman saya mengajar privat anak TK.
“Menjadi guru privat
merupakan salah satu keinginan saya sejak dulu, akhirnya dapat terealisasi
bulan Maret 2012 dengan 2 murid pertama siwi SD Kelas 6 daan SMK kelas 10.
Namun, tak terlintas dipikiran saya jika suatu saat saya harus mengajar anak
TK. Kesan pertama saat saya mendapatkan job untuk mengajar privat anak seusia itu adalah
agak ragu, apakah saya bisa menyampaikan materi dan belajar bersama anak
tersebut dengan baik? Karena kita tahu anak seusia itu masih sangat aktif dan
lebih suka bermain. Sedangkan orang tua menyuruh anaknya privat pada usia
segitu, pastilah menginginkan anaknya memiliki kemampuan akademis yang lebih
bagus. Keraguan tersebut saya coba tepiskan dari benak saya, supaya saya
tidak bisa memaksimalkan tugas saya. Sebut
saja namanya Dik Dimas, siswa sebuah TK IT itu. Anak kecil yang lucu dan menggemaskan merupakan
kesan pertama yang saya tangkap pada hari pertama saya mengajarnya.
Saat
saya memasuki ruang belajarnya, setumpuk mainan terjejer rapi dimeja. Ketika
maminya menanyakan kenapa mainan-mainan tersebut dijejerkan dimeja, dengan
lugunya dia menjawab, “Kan biar bagus mi, biar mbaknya senang”. Waw, batin
saya, anak sekecil ini sudah berniat membuat saya senang meskipun saya masih
berada diambang pintu, dan dia belum mengenal saya. Karena saking banyaknya mainan, akhirnya
maminya yang membereskannya dari meja belajar Dik Dimas. Bu Tirta, maminya dik Dimas, mengemukakan
beberapa kesulitan belajar Dik Dimas kepada saya, beberapa hal yang saya
tangkap antara lain kesulitan menghafal abjad dan membaca. Dari permasalahan
tersebut, saya mencoba mengajak dik Dimas untuk mempelajari abjad dan belajar
membaca di hari privat pertama tersebut. Tentu tidak lupa diselingi dengan
bercanda, menghafal abjad dengan bernyanyi, supaya belajar tidak monoton dan
membosankan. Di hari pertama tersebut, dia cukup antusias belajar.
Namun
berbeda dengan pertemuan privat kedua. Ketika saya sampai di rumahnya, sore itu
pukul 16.00, Dik Dimas Masih tertidur pulas. Sang ibu sudah mencoba
membangunkannya, tetapi Dik Dimas masih malas bangun. Akhirnya baru jam 16.30
dik Dimas mau bangun, dan seketika itu pula privat dimulai. Bisa saya
bayangkan, anak sekecil itu baru bangun tidur sudah disuruh belajar oleh orang
tuanya, pasti rasanya begitu suntuk dan sulit sekali menerima materi yang
disampaikan. Jangankan anak kecil, siswa-siswa yang mungkin sudah berada pada
sekolah menengah pun kebanyakan tidak mau langsung belajar usai bangun tidur
siang, karena malas dan kantuk yang masih tersisa. Begitu pula dengan Dik
Dimas, saya benar-benar mengerti dia sangat malas untuk belajar, sehingga saya
juga tidak memaksanya untuk belajar secara maksimal, melainkan banyak ngobrol
tentang sekolahnya, bercanda, supaya paling tidak dia tidak tertidur lagi
ketika privat berjalan dan masih menangkap materi yang dipelajari saat itu
Tidak
beda dengan pertemuan kedua, saat
pertemuan ketiga pun sama, saya sampai di rumah Dik Dimas, tetapi dia
masih tertidur. Dan alamat jalan cerita privat pertemuan ini sama seperti
pertemuan kedua. Belajar kembali dimulai pukul 16.30. Saat usai berdoa
mengawali belajar, dia langsung mengatakan bosan belajar berkutat dengan
huruf-huruf abjad itu. Kemudian saya menawarkan opsi kepada Dik Dimas untuk
belajar huruf hijaiyah, dan diapun sepakat. Saya baru menuliskan4 huruf
hijaiyah dan melafalkannya sebagai pengenalan, dia sudah lancar mengucapkan dan
melanjutkannya, tetapi dengan cara yang berbeda. “Alif, ba’, ta’, tsa’, jim,
ha’ Allah Tuhan kita semua… Kha’, dal, dzal, ra’, zal, sin, syin, masuk surga
ayo bilang amin…”. Meskipun pengucapannya dalam bernyanyi masih belibet, saya
memujinya.. “Wah dik Dimas sudah pintar, masih hafal lanjutannya?” tanya saya.
Namun dia hanya melukiskan senyum manis di wajahnya. Setelah saya telusuri, ternyata yang dia
ucapkan hanya sebatas bentuk hafalan lagu, sedangkan untuk penulisannya dia
belum mengerti kecuali 3 huruf pertama, itu pun terkadang masih terbalik antara
ba’ dan ta’. Akhirnya berulang-ulang kami belajar 4 huruf pertama hijaiyah
serta menuliskannya, supaya dia lebih mengingatnya. Namun sesaat kemudian, sang
ibu masuk dan meminta untuk fokus ke abjad saja, karena huruf hijaiyah
diajarkan di TPA, meskipun dik Dimas males kalau disuruh berangkat TPA. Dengan
amat terpaksa, menyudahi belajar huruf hijaiyah dan beralih ke huruf abjad
lagi. Ekspresi bad mood langsung saya
tangkap dari wajah Dik Dimas. Tetapi setelah bercanda sebentar akhirnya dia
tersenyum lagi. Oh ya, saya punya 2 buku pengenalan huruf abjad sederhana yang
saya beli ketika jalan-jalan beberapa hari yang lalu, memang saya niatkan untuk
saya berikan pada Dik Dimas. Begitu saya memberikannya, dia begitu senang dan
antusias mempelajarinya. Namun ternyata tidak bertahan lama. Seakan-akan
huruf-huruf abjad itu begitu membosankan untuknya. Ditambah lagi di halaman
depan rumah ada teman-temannya yang sedang bermain. Rasanya dia pengen segera
meluncur ke halaman depan untuk bergabung bersama teman-temannya bermain bola. Saat
ibu dik Dimas masuk ke ruang belajar, Dik Dimas langsung merengek untuk
menyudai privat pada hari itu, namun karena privat baru berjalan 30 menit,
padahal kuota waktu 1,5 jam, sang ibu tidak mengizinkan untuk menyudahi privat
di hari itu. Rengekan Dik Dimas yang terus menerus rupanya membuat sang ibu
jengkel kemudian marah hingga Dik Dimas menangis. Setelah beberapa saat ibunya
keluar dan dik dimas masih sedikit menangis saya mencoba bicara perlahan
padanya.
“Dik
Dimas, sudah ya nangisnya… Tahu nggak kenapa mami Dik Dimas marah karena Dik
Dimas males belajar? Karena mami pengen Dik Dimas pintar, supaya kelak
cita-cita Dik Dimas tercapai. Mami sayang banget lho sama kamu.. Kamu sayang
enggak sama mamimu?”
Saya
sedikit tersentak ketika dia menggelengkan kepala. Kemudian saya tanya apa
sebabnya, dengan polosnya dia menjawab, “Lha mami sering marah-marah kok..”
Sekali lagi saya memberikan pengertian secara perlahan
kepada dia bahwa kemarahan tersebut adalah bentuk kasih sayang ibu terhadap
anaknya. Namun belum selesai perkataan saya, sang ibu sudah masuk kembali. Dik
Dimas yang kaget langsung mendekati saya dan meraih buku pengenalan abjad di
depan saya. Namun selang beberapa menit Dik Dimas nangis kembali, dan membuat
emosi sang ibu memuncak.
“Dimas, mami nggak suka kamu males belajar seperti itu.
Kamu tidur mami tungguin, baru belajar sebentar minta makan sudah mami buatin,
baru belajar sebentar kamu minta main. Terus kapan belajarnya? Kalau kamu gini
terus kapan kamu pintarnya. Umur kamu itu sudah 6 tahun lho Dimas, liat
teman-teman yang seumuran sama kamu, mereka semua sudah SD. Lha kamu, disuruh sekolah saja kadang males, belajar saja
ogah2an. Kurang sabar apa sih mbak Ina ngajarin kamu? Apa Mbak Ina pernah
marah, mernah mukulin kamu? Enggak kan. Coba kalau sama mami, kamu sambil tak
cubitin, tak marahin kan.”
Saya tercengang melihat Dik Dimas dimarahi oleh ibunya.
Tidak banyak yang bisa saya lakukan saat itu, karena jujur saya merasa perkewuh meskipun saya kasihan juga pada Dik Dimas yang
sesekali dicubit oleh ibunya.
“Coba lihat kakak kamu itu, Kak Dito privat hamper setiap
hari, dia rajin belajar, di sekolah dia dapat ranking terus. Lha kamu? Di suruh
ke TPA males, privat males. Mami itu pusing kalau mikirin kamu. Ya udah, gini
aja mulai besok kamu nggak usah main keluar sama teman-temanmu, kalau kamu jadi
males belajar. Biar aja jadi anak bodoh yang terkurung di rumah, dari pada
bikin malu. Teman-teman udah pada bisa membaca, cuma kamu yang belum…”
Tangis Dik Dimas pun semakin keras. Yah, kira-kira
seperti itu perkataan sang ibu ketika marah, mungkin tidak sama persis dan
sependek itu, tapi kata-kata itu yang masih terngiang di benak saya. ‘Jleb
banget’, istilah alay yang menggambarkan betapa menyakitkannya kata-kata dari
seorang ibu terhadap sang anaknya tersebut. Privat hari itu pun segera
berakhir. Benar-benar tak disangka saya
mendapatkan pengalaman seperti itu di hari tersebut.
Sekalian saya ceritakan pertemuan privat keempat. Kali ini saya mendapati Dik Dimas
sedang bermain bola di halaman rumah, ibu dan kakaknya sedang pergi. Dia di
rumah bersama pembantunya. Ketika saya panggil beberapa kali dia masih terlihat
focus pada mainannya, tetapi ketika dia mendekat dan saya berikan sedikit
nasehat, akhirnya dia mau disuruh mandi dan siap-siap belajar.
Kali ini saya berniat tidak mempelajari abjad dan
membaca, tetapi hari ini kami akan belajar berhitung. Dik Dimas begitu antusias
belajar kali ini. Di mulai dari dia menyebutkan angka-angka yang dia ketahui,
dia bisa menyebutkannya hingga puluhan, 50an keatas pun bisa. Kemudian
menuliskan angka-angka tersebut, lumayan, meskipun agak kesulitan jika menulis
angka puluhan. Kemudian belajar menghitung. Penambahan, untuk penambahan yang
sederhana, dia lumayan cepat. Bermodal 10 jari tangan dan 10 jari kaki, dia
sangat sigap menjawab pertanyaan yang saya berikan. Semakin lama level
kesulitan soal saya tingkatkan, hingga dia meminjam 10 jari tangan saya untuk
menghitungnya. Dan dia bisa. Setelah itu saya mengajarinya metode menghitung
dengan menuliskan garis-garis tegak sebagai wujud representasi dari jari. Dia
begitu mudah menangkap metode yang saya maksudkan. Tidak hanya menghitung, tapi
saya mencoba menyuruhnya untuk latihan menuliskan hasilnya, awalnya memang
sulit tapi lama kelamaan dia bisa. Setelah lancar penambahan, kami belajar
pengurangan, awalnya dia tidak mau, tapi setelah dia memahami jika pengurangan
hanya tinggal menghapus garis-garis tegak yang sudah dia tuliskan, sebanyak
bilangan yang dikurangkan, dia pun mau mencoba dan bisa. Luar biasa menurut
saya, anak sekecil itu sudah begitu cekatan menghitung hingga puluhan dan
mencoba menuliskan hasilnya. Dari sana saya bisa mengambil kesimpulan bahwa Dik
Dimas lebih menyukai pelajaran numerik. Tidak terasa privat hari itu berjalan
mulus dan menyenangkan. Yang membuat saya sangat senang adalah tidak sedikit pun keluh untuk berhenti
belajar terucap dari Dik Dimas.
Menjelang pulang, saya bercanda berpamitan dengan Dik Dimas,
kalau minggu depan saya sudah tidak bisa mengajarnya lagi. Dik Dimas merengek
tidak mau. Tetapi apa boleh buat, ibu saya tidak mengizinkan saya terus menerus
di Solo saat libur semester 2, bulan Ramadhan kemarin. Saya mencoba berbicara
perlahan dengan ibunya Dik Dito, beliau memahami. Saya mencoba mengatakan
kepada beliau bahwa minat dan bakat Dik Dimas sepertinya ada pada bidang
numerik. Meskipun kemampuan verbalnya agak kurang tetapi kemampuan numeriknya
bagus.
Beliau meminta untuk dicarikan tentor privat baru untuk
Dik Dimas. Keinginan tersebut langsung saya utarakan kepada Mbak Ike, selaku
Ketua Cabang LBB wilayah Palur, dan beliau menyanggupi untuk mencarikan tentor
penggantinya. Namun siapa sangka, ternyata hingga bulan Ramadhan selesai, Dik Dimas
sudah ganti tentor privat sebanyak 3 kali, dan tidak ada yang cocok, akhirnya
maminya memutuskan untuk mengajari belajar Dik Dimas sendiri. Yang dik Dimas
inginkan hanya saya yang menjadi tentornya, tetapi apa boleh buat jika saya
tidak diizinkan mengajar hingga akhir Agustus.”
Bagi
saya pengalaman mengajar tersebut sangat berkesan dan memberikan pengetahuan
kepada saya terkait banyak hal. Mungkin ceritanya agak kepanjangan, padahal
inti dari postingan ini belum saya sampaikan. Hehe
(posting belum selesai) kapan-kapan saya lanjutkan
(posting belum selesai) kapan-kapan saya lanjutkan